Posted by: beraona | April 2, 2012

POLITIK AKAL AKALAN DI BALIK BATALNYA KENAIKAN BBM

POLITIK akal-akalan terjadi secara transparan dalam tarik ulur kenaikan harga BBM di DPR RI, hingga diputuskan dengan voting dalam rapat paripurna Sabtu dini hari kemarin. Hasilnya, BBM tidak dinaikan saat ini, tapi ditunda hingga enam bulan. Bagaimana proses politik yang penuh kepura-puraan itu?

Politik akal-akalan itu mencolok karena besaran persentase dan kapan waktu penaikan harga BBM itu bisa diulur setelah dinegosiasikan lewat lobi-lobi. Karena itu, persentase penaikan harga BBM itu jelas tidak berbasiskan analisis matang. Rata-rata ICP atau harga minyak mentah selama 2 bulan pertama tahun ini mencapai US$119 per barel. Tren harga minyak memang terus naik. Jadi, partai-partai koalisi sebenarnya hanya menunda waktu saja, supaya tampak memihak rakyat. Padahal, semua itu cuma politik akal-akalan agar tidak kehilangan muka.
Begitulah, masalah penaikan harga BBM memberi pelajaran berharga bagi publik untuk berkesimpulan bahwa semua partai koalisi, semua partai yang propemerintah, merupakan partai yang penuh kepura-puraan. Tapi, akhirnya niat pemerintah menaikkan harga BBM terganjal.
Setelah berlangsung alot, rapat paripurna DPR, akhirnya menyepakati penundaan kenaikan harga BBM bersubsidi. Melalui voting, pada pukul 01.00 WIB Sabtu (31/3) dini hari, DPR menyetujui penambahan ayat 6A dalam Pasal 7 ayat 6 UU APBN 2012 yang melarang pemerintah menaikkan harga BBM.
Dalam pasal tambahan itu, pemerintah diizinkan menaikkan atau menurunkan BBM bila harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) dalam kurun waktu enam bulan mengalami kenaikan atau penurunan hingga lebih dari 15 persen dari asumsi APBN-P 2012, sebesar US$105 per barel.
Artinya, pemerintah tak bisa menaikkan harga bahan bakar saat ini. Sebab rata-rata harga minyak mentah Indonesia dalam enam bulan terakhir belum sampai US$120,75 per barel. Namun, angka ini hampir tercapai. Sebab sejak awal Oktober 2011-akhir Maret 2012, rata-rata harga minyak mentah Indonesia sudah mencapai US$116 per barel.
Dalam opsi kedua ini disetujui oleh 356 anggota dewan. Sedangkan opsi pertama, yang tak mau menambah ayat 6a, hanya dipilih oleh 82 anggota.
Pandangan fraksi-fraksi di luar dugaan, sebagian besar anggota koalisi meminta BBM tidak naik saat ini. Padahal, semula peta fraksi-fraksi, terutama koalisi, hampir bisa dipastikan mendukung kenaikan BBM.
Peta fraksi kemudian bergeser saat ada usulan penambahan ayat di Pasal 7 ayat 6 UU APBN 2012, sehingga berubah menjadi ‘Pasal 7 ayat 6A’.
Sekilas, partai koalisi tampak menolak kenaikan BBM dalam pandangan di paripurna. Padahal, kalau dicermati–baik PKS, PAN, PKB, apalagi Demokrat, setuju kenaikan BBM dengan syarat ada di ‘ayat 6A’.
Apa ‘ayat 6A’? Ayat ini muncul saat DPR membahas pencabutan Pasal 7 ayat (6) yang menyatakan, “Harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan.” Pemerintah minta DPR mencabut pasal ini karena mengunci kewenangan dalam menaikkan harga BBM, sesuai perintah MK.
Pada Senin 26 Maret 2012 lalu, Badan Anggaran DPR membahas kemungkinan mengganti ayat 6 dengan ayat yang bisa memberi kewenangan pada pemerintah mengubah harga minyak bersubsidi. Namun, saat membahas soal itu, tiga fraksi yakni PDIP, Hanura dan Gerindra keluar dari rapat, menolak rencana perubahan.
Enam fraksi tersisa kemudian meneruskan rapat mengkonsep munculnya “ayat 6A”, ayat yang mengatur bahwa dalam hal minyak mentah dunia mengalami kenaikan atau penurunan 5 persen, maka pemerintah berwenang menyesuaikan subsidi dan mengubah harga. Muncullah kemudian persentase batas minimal kenaikan minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP). ‘Ayat 6A’ mengatur fleksibilitas pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM bersubsidi jika harga minyak mentah Indonesia berfluktuasi dengan parameter tertentu.

Usulan Fraksi-fraksi
Pada awal-awal rapat paripurna, masing-masing fraksi –dengan dibungkus kata-kata ‘jangan naikkan BBM’– menawarkan angka kenaikan dan penurunan ICP masing-masing.
Demokrat misalnya, menyebut angka 5 persen, Golkar (15), PPP (10), PKS (20), PAN (15), dan PKB (17,5). PKS menambahkan syarat: dihitung rata-rata selama 90 hari sejak sekarang sedangkan Golkar 6 bulan.
Sebagai gambaran, DPR dan pemerintah telah menyepakati ICP di APBN-P 2012 adalah US$105 per barel. Jika memakai parameter Golkar 15 persen, maka batas minimal pemerintah boleh menaikkan harga BBM yang disetujui adalah harga rata-rata ICP mencapai US$120,75 per barel. Angka ini didapat dari rumusan: ICP di APBN ditambah 15 persen.
Jumat (30/3) sekitar pukul 15.30 rapat diskors. Namun, peta pertarungan sudah berubah. Partai Golkar dan PKS masih alot, sementara Partai Demokrat, PKB, PAN, dan PPP sudah sepakat pada opsi angka 10 persen di atas harga minyak Indonesia (ICP) selama tiga bulan.
Sekitar pukul 22.30 WIB, rapat paripurna kemudian dimulai lagi dan akhirnya dilakukan voting sekitar dua jam kemudian dengan hasil akhir sama dengan usulan Fraksi Golkar. Karena itu, dari aspek strategi politik, golkar memenangkan pertarungan soal BBM ini.
Menteri Keuangan Agus Martowardjo menghargai keputusan DPR yang memutuskan menunda kenaikan harga BBM bersubsidi. Meski tak sama dengan keinginan pemerintah, keputusan tersebut akan tetap dipatuhi. “Kami sangat menghargai keputusan ini,” kata Agus.(jdz/berbagai sumber)

Dana BLSM Rp 17 Triliun ‘Nganggur’

SETELAH Paripurna DPR membatalkan kenaikan harga BBM subsidi pada 1 April 2012, dana bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) Rp 17 triliun yang sudah disetujui harus ‘menganggur’.
“Dana BLT yang sekarang di sebut BLSM dan kompensasi lainnya yang totalnya Rp 25 triliun tetap dianggarkan dan tidak bisa dibatalkan,” jelas Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) KementerianĀ  Keuangan, Bambang Brodjonegoro di Jakarta, Sabtu (31/3).
Menurutnya, jika dana tersebut tidak akan dihilangkan dana BLSM dkk ini karena sudah diketok oleh DPR untuk masuk dalam UU APBN-P 2012. Dana tersebut baru akan cair apabila harga BBM bersubsidi jadi dinaikkan tahun ini.
Dalam UU APBN-P 2012 dimasukkan paket kompensasi Rp 25 triliun. Paket ini terdiri dari BLT atau sekarang disebut bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) Rp 17,08 triliun, bantuan pembangunan infrastruktur pedesaan Rp 7,88 triliun, dan tambahan anggaran program Keluarga Harapan Rp 591,5 miliar. Padahal, kompensasi ini dimasukkan karena kenaikan harga BBM subsidi yang rencananya dilakukan pada 1 April 2012. Namun kenaikan harga BBM subsidi ini tidak terjadi karena pripurna DPR berkata lain. (dtc/jdz)

Ini Resiko Psikologi Pasar

MENGKRITISI batalnya kenaikan harga BBM yang diputuskan DPR dalam Paripurna Sabtu dini hari kemarin, Analis Ekonomi NTT, Prof Fredd Benu, mengatakan, BBM tidak saja sebagai komoditi ekonomi, tapi juga komoditi politik.
“BBM baik dalam posisi sebagai komoditi ekonomi maupun politik dapat menimbulkan ketegangan politik, keduannya berdampak pada masyarakat,” katanya menjawab VN, Sabtu (31/3).
Ia menjelaskan, sebagai komoditi ekonomi, ia memicu inflasi. Artinya, ketika ada wacana menaikkan harga BBM, maka psikologi pasar bereaksi cepat sehingga berdampak pada naiknya harga barang-barang umum yang berpengaruh. “Jadi, ini resiko psikologi pasar dari wacana kenaikan harga BBM sebagai komoditi ekonomi yang merupakan pemicu inflasi. Jadi reaksi pasar sangat cepat untuk menaikkan harga,” tegasnya.
Reaksi pasar ini, menurut dia, terjadi karena adanya distorsi dalam pasar. Distorsi tersebut berkaitan dengan belum adanya informasi yang jelas secara sempurna, kurang adanya infrastruktur pendukung di pasar yang memadai, serta otoritas tidak pemerintah mampu mengontrol suplai (permintaan) dan demand (penawaran). “Inilah kelemahan ketika kita masuk ke pasar bebas sementara kita tidak mampu mengontrol suplai dan demand dari komoditi ekonomi sehingga harga di pasar terjadi secara rill. Inilah kelemahan kita termasuk pemerintah,” jelasnya.
Ia mengatakan, informasi dan infrastruktur yang kurang tersebut juga berdampak pada masalah kurangnya pasokan barang, penimbunan BBM, jaminan transportasi kurang lancar. “Semuanya itu termasuk dalam langgam distorsi pasar,” katanya.
Sebagai solusi mengatasi distorsi tersebut, jelas dia, kalau ingin menempatkan BBM sebagai komoditi ekonomi pemicu inflasi, maka pemerintah harus memiliki infrastruktur pasar yang memadai dan dibarengi dengan kebijakan politik ekonomi yang mampu mengontrol masalah suplay dan demand terhadap komoditi pemicu inflasi seperti BBM ini. “Termasuk membangun infrastruktur pasar, menjamin adanya kepastian suplai BBM, informasi akurat kepada konsumen, mengatasi masalah adanya spekulan penimbunan BBM. Semuanya itu tugas pemerintah. Langkah ini dapat mengatasi masalah distorsi pasar yang terjadi saat ini,” tegasnya. (jdz)

Tulisan ini dimuat di HU VICTORY NEWS

Edisi Minggu, 01 April 2012


Leave a comment

Categories